Makalah Ini Disusun Oleh:
Nurjannah, Nurul Khairiyah, Wahyu Sanjaya Putra
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Samenloop / concursus dapat diterjemahkan gabungan atau
perbarengan. Dalam makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”. Gabungan
tindak pidana yaitu apabila seseorang atau lebih melakukan satu perbuatan dan
dengan melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa peraturan pidana atau
apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi putusan
hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa
peraturan pidana itu diadili sekaligus.
Dengan demikian dalam makalah ini akan membahas lebih detail
terhadapa gabungan tindak pidana tersebut.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
definisi gabungan tindak pidana (Samenloop/Concursus)..?
2. Bagaimana
sistem teori gabungan melakukan tindak pidana..?
3. Apa-apa
saja bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana,,?
C. TUJUAN
MASALAH
Setelah mempelajari pokok pembahasan makalah ini mahasiswa diharapkan
dapat memahami pengerian Concursus/samenloop (gabungan malakukan tindak pidana)
dalam kaitan penjatuhan hukuman, mengetahui teori
gabungan melakukan tindak pidana, dan mengatahui bentuk-bentuk gabungan
melakukan tindak pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Pengertian gabungan tindak pidana dalam bahasa. Indonesia
dalam bahasa Belanda juga disebut sebagai Samenloop van strqfbaar feiten dan
sedangkan concursus berasal dari bahasa, Latin. Dikalangan para sarjana
digunakan beberapa terjemahan seperti gabungan tindak pidana atau rentetan
peristiwa pidana dan masih banyak lagi. Konsekwensi dari penggunaan istilah
perbuatan pidana adalah untuk memisahkannya dari pertanggung jawaban pidana,
maka dalam uraian ini akan digunakan terjemahan KUHP dari Moeljatno yang
menerjemahkan gabungan tindak pidana, yaitu[1]
:
a.
Bilamana seseorang melakukan satu
perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan itu
melanggar beberapa peraturan pidana;
b. Bilamana
seseorang melakukan beberapa perbuatan, dalam tiap-tiap perbuat mana merupakan perbuatan pidana yang masing-masing
berdiri sendiri sendiri, dan terhadap
salah satu perbuatan tersebut belum pernah dijatuhi keputusan hakim. Atas orang
tersebut kemudian diadili sekaligus.
Di
samping dari pada beberapa perbuatan pidana yang masing-masing merupakan
perbuatan berdiri sendiri (kejahatan atau pelanggaran) tetapi diantara perbuatan
itu ada hubungannya satu sama lain yang harus dianggap sebagai satu perbuatan
berlanjut.
Dalam sistemtika KUHP peraturan tentang perbarengan
perbuatan pidana mengenai ketentuan mencenai ukuran dalam menentukan pidana,
sedangkan tentuan mengenai pengulangan beberapa perbuatan pidana merupakan
aturan delik khusus dengan pemberatan pidana ditambah sepertiganya dari ancaman
pidana kejahatan tertentu. Menurut rumusan undang-undang yang dimaksud dengan
perbarengan perbuatan pidana ialah seseorang melakukan satu perbuatan yang
melanggar beberapa peraturan hukum pidana atau melakukan beberapa perbuatan
yang masing-masing perbuatan berdiri sendiri yang akan diadili sekaligus, dan
salah sate dari perbuatan, pidana itu belum dijatuhkan putusan hakim.
Menurut para sarjana tentang gabungan tindak pidana atau
gabungan satu perbuatan pidana:
§
Menurut TAVERNE Mengemukakan tentang
Vermaterialisering dari perbuatan dan menyatakan, bahwa gabungan beberapa
perbuatan terjadi, apabila tindakan yang berbeda dari sudut hukum pidana in
conctero dapat dianggap satu sama lain terlepas.
§
Menurut VAN BEMMELEN Gabungan satu perbuatan
atau beberapa perbuatan tergantung pada masalah satu atau beberapa kepentingan
hukum yang terlanggar, ataupun. apakah dengan melakukan perbuatan yang satu itu
tertuduh melakukan dengan sendirinya (otomatis) juga perbuatan lain.
Syarat-syarat terjadinya
Gabungan Tindak Pidana
Untuk dapat
dikatakan telah terjadi gabungan tindak pidana maka suatu perbuatan tersebut
harus memenuhi syarat-syarat suatu gabungan tindak pidana. Untuk mengetahui
syarat-syarat dari suatu gabungan tindak pidana kita harus memperhatikan secara
teliti rumusan dari pasal-pasal tentang gabungan tindak pidana.
Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi supaya perbuatan itu dapat dinyatakan sebagai tindak pidana
gabungan yaitu : Ada dua/lebih tindak pidana (sebagaimana dirumuskan dalam
perundang-undangan) dilakukan;
v
Bahwa
dua/lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh sate orang (atau dua orang/lebih dalam rangka penyertaan);
v
Bahwa dua/lebih tindak pidana tersebut,
belum ada yang diadili;
v
Bahwa
dua/lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
pengertian gabungan melakukan tindak pidana maka perlu diketahui bagaimana
pendapat para sarjana hukum dalam memberikan definisi mengenai gabungan
melakukan tindak pidana ini. Gabungan melakukan tindak pidana sering
diistilahkan dengan concursus atau samenloop yang berarti perbarengan melakukan
tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang.
Dalam KUHP gabungan melakukan tindak pidana sering
diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten yaitu satu orang yang
melakukan beberapa peristiwa pidana, sementara itu Mas’ad Ma’shum memberikan
definisi gabungan melakukan tindak pidana ini dengan beberapa perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang[2].
Dari beberapa pengertian
di atas, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu tentang pengertian
gabungan melakukan tindak pidana itu sendiri dan mengenai penyertaan dan juga
mengenai tindak pidana berulang.
Pada delik penyertaan (delneming) terlibat beberapa orang
dalam satu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan pada gabungan beberapa
perbuatan atau concursus terdapat beberapa perbuatan yang dapat dihukum yang
dilakukan oleh satu orang, sebagaimana dalam recidive. Akan tetapi dalam
recividive, beberapa perbuatan pidana yang telah dilakukan diselingi oleh suatu
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, sehingga karenanya
terhukum dinyatakan telah mengulang kembali melakukan kejahatan.
Sementara itu dalam gabungan melakukan tindak pidana, pelaku
telah berturut-turut melakukan beberapa perbuatan pidana tanpa memberi
kesempatan pada pengadilan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman atas salah
satu perbuatan tersebut.
Gabungan melakukan tindak pidana juga sering dipersamakan
dengan perbarengan melakukan tindak pidana yaitu seseorang yang melakukan satu
perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan hukum atau melakukan beberapa
perbuatan pidana yang masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri yang akan
diadili sekaligus, dimana salah satu dari perbuatan itu belum mendapatkan
keputusan tetap.
Gabungan melakukan tindak pidana (concursus) diatur dalam
KUHP mulai pasal 63 sampai 71 buku I Bab VI. Dari pasal-pasal tersebut nantinya
dapat menghapus kesan yang selama ini ada dalam masyarakat bahwa seseorang yang
melakukan gabungan beberapa perbuatan pidana, ia akan mendapatkan hukuman yang
berlipat ganda sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya.
Adapun bunyi pasal-pasal[3]
yang menjadi dasar hukum dari gabungan melakukan tindak pidana ini, adalah:
1.
Pasal 63 tentang Concursus Idealis
1.
Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam
lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari
ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana berlain, maka yang dipakai
ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya;
2.
Kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat
dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka
ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan.
Dari pasal tersebut maka orang yang melakukan tindak
pidana sekaligus dapat dikatakan melakukan peristiwa pidana gabungan
sebagaimana dimaksud oleh pasal ini.
Sedangkan ayat 2 menjelaskan apabila ada sesuatu perbuatan
yang dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus di samping pidana yang
umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai. Ini adalah
penjelmaan slogan kuno yang berbunyi lex specialis derogat lex generalis.
2.
Pasal 64 tentang Vorgezette Handeling[4]
1.
Kalau antara beberapa perbuatan ada
perhubungannya, meskipun perbuatan itu masing-masing telah merupakan kejahatan
atau pelanggaran, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang
berturut-turut, maka hanyalah satu ketentuan pidana saja yang digunakan ialah
ketentuan yang terberat pidana pokoknya;
2.
Begitu juga hanyalah satu ketentuan
pidana yang dijalankan, apabila orang disalahkan memalsukan atau merusak uang
dan memakai benda, yang terhadapnya dilakukan perbuatan memalsukan atau merusak
uang itu;
3.
Akan tetapi jikalau kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 364, 373, 379 dan pasal 407 ayat pertama dilakukan
dengan berturut-turut, serta jumlah kerugian atas kepunyaan orang karena
perbuatan itu lebih dari Rp. 25,- maka dijalankan ketentuan pidana pasal 362,
372, 378, atau 406.
Pasal 64 ini menjadi dasar hukum bagi perbuatan yang
berkelanjutan yaitu antara perbuatan yang satu dengan yang lainnya ada
kaitannya. Tindak pidana yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang
berkelanjutan seperti pencurian ringan (pasal 364), penggelapan ringan (pasal
373), penggelapan biasa (pasal 372) selanjutnya beberapa penipuan ringan (pasal
379), penipuan biasa (pasal 378), perusakan barang (pasal 407 ayat 1) dan juga
perusakan barang biasa (pasal 406).
3.
Pasal 65 tentang Concursus Realis
1.
Jika ada gabungan beberapa perbuatan,
yang masing-masingnya harus dipandang sebagai satu perbuatan bulat dan
yang masing-masingnya merupakan kejahatan yang terancam dengan pidana pokoknya
yang sama, maka satu pidana saja yang dijatuhkan;
2.
Maksimum pidana itu ialah jumlah
maksimum yang diancamkan atas tiap-tiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih
dari yang terberat ditambah sepertiganya.
Apa yang tersirat dalam pasal 65 ini adalah bentuk
gabungan beberapa kejahatan (concursus realis). Apabila terdapat seseorang yang
melakukan beberapa kejahatan, akan dijatuhi satu hukuman saja apabila hukuman
yang diancamkan adalah sejenis hukuman mana tidak boleh lebih dari
maksimum bagi kejahatan yang terberat ditambah dengan sepertiganya. Pasal 65
ini membahas tentang gabungan kejahatan yang hukumannya sejenis.
4.
Pasal 66 KUHP
1.
Dalam hal gabungan beberapa perbuatan
yang harus dipandang sebagai perbuatan bulat (yang berdiri sendiri), dan
merupakan beberapa kejahatan, yang atasnya ditentukan pidana pokok yang tidak
semacam, maka setiap pidana itu dijatuhkan, tetapi jumlah lamanya tidak
boleh melebihi pidana yang tertinggi ditambah sepertiganya;
2.
Dalam hal itu pidana denda dihitung
menurut lamanya maksimum pidana kurungan pengganti yang ditentukan untuk
perbuatan itu.
Pasal 66 ini juga menjadi dasar hukum bagi gabungan beberapa
perbuatan (concursus realis) hanya bedanya hukuman yang diancamkan bagi
kejahatan-kejahatan itu tidak sejenis. Maka dari itu hukuman yang dijatuhkan
tidak hanya satu melainkan tiap-tiap perbuatan itu dikenakan hukuman, namun jumlah
semuanya tidak boleh lebih dari hukuman yang terberat ditambah dengan
sepertiganya bagi hukuman denda diperhitungkan hukuman kurangan penggantinya.
5.
Pasal 67 KUHP
Pada pemidanaan dengan pidana mati atau pidana seumur
hidup, tidak dapat dijatuhkan di sampingnya pidana lain daripada pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang yang telah disita, dan pengumuman keputusan
hakim.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
hukuman kurungan dan hukuman denda tidak dapat dijatuhkan berdampingan dengan
hukuman mati atau hukuman seumur hidup yang dikenakan.
6.
Pasal 68 KUHP
1.
Dalam hal ihwal yang tersebut dalam
pasal 65 dan 66 maka tentang pidana tambahan berlaku ketentuan yang berikut di
bawah ini:
Ø
Pidana mencabut hak yang sama dijadikan
satu pidana, lamanya, sekurang-kurangnya dua tahun, selama-lamanya lima tahun
lebih dari pidana pokok atau pidana pokok yang dijatuhkan lain dari denda,
dijadikan satu pidana sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima
tahun; (KUHP pasl 38)
Ø
Pidana mencabut hak yang berlain-lainan,
dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi;
Ø
Pidana merampas barang, begitu juga
pidana kurungan pengganti jika barang itu tidak diserahkan, dijatuhkan
masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan yang tidak dikurangi.
2.
Jumlah pidana kurungan pengganti itu
lamanya tidak lebih lama dari delapan bulan.
Pasal di atas berbicara mengenai apabila seorang hakim akan
menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu yang sama
jenisnya. Lamanya pencabutan harus sama dengan lamanya hukuman penjara
atau hukuman kurungan yang dijatuhkan, ditambah dengan sedikit-dikitnya dua
tahun dan selama-lamanya lima tahun.
Apabila hukuman tersebut tidak sama
jenisnya, pencabutan hak itu dijatuhkan pada tiap-tiap kejahatan yang dituduhkan,
tanpa dikurangi. Demikian pula apabila dijatuhkan hukuman tambahan berupa
perampasan barang-barang tertentu dari hukuman kurungan pengganti itu tidak
diserahkan, maka tiap-tiap hukuman harus dijatuhkan tanpa dikurangi, sementara
itu hukuman pengganti lainnya tidak boleh lebih dari delapan bulan.
7.
Pasal 69 KUHP
1.
Perbandingan berat pidana pokok yang
tidak semacam, ditentukan menurut urutan pada pasal 10;
2.
Dalam hal hakim dapat memilih antara
beberapa macam pidana pokok, maka untuk perbandingan hanya pidana yang terberat
saja yang dapat dipilihnya;
3.
Perbandingan beratnya pidana pokok yang
semacam, ditentukan oleh maksimumnya;
4.
Perbandingan lamanya pidana pokok yang
tidak semacam, maupun pidana pokok yang semacam ditentukan pula oleh
maksimumnya.
Sebagaimana diketahui bahwa hukuman
terdiri dari dua macam yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan yang
ketentuannya terdapat dalam pasal 10, apabila terdapat dua hukuman yang berbeda
maka diharapkan dipilih hukuman yang terberat, perbandingan lamanya
hukuman yang tidak sejenis ditentukan oleh maksimumnya.
8.
Pasal 70 KUHP
1.
Jika ada gabungan secara yang termaktub
dalam pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan atua antara
pelanggaran dengan pelanggaran, maka dijatuhkan pidana bagi tiap pelanggaran
itu dengan tidak dikurangi.
2.
Untuk pelanggaran jumlah pidana
kurungan dan pidana kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat
bulan dan jumlah pidana kurungan pengganti tidak boleh melebihi delapan bulan.
Pasal 70 ini memuat tentang gabungan
kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Maka dalam
hal ini setiap kejahatan harus dijatuhi hukuman tersendiri begitu juga dengan
pelanggaran harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri. Apabila terdapat hukuman
kurungan maka hal ini tidak lebih dari satu tahun empat bulan sedang apabila
mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak boleh lebih dari delapan bulan.
9.
Pasal 70 KUHP
Dalam melakukan pasal 65, 66 dan 70
maka kejahatan yang diterangkan dalam pasal 302, ayat (1), 352, 364, 373, 379,
dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, tetapi jika dijatuhkan pidana
penjara jumlah pidana ini bagi kejahatan-kejahatan tersebut tidak boleh
melebihi delapan bulan.
Untuk menjalankan peraturan dalam pasal
65, 66, dan 70 maka untuk kejahatan ringan harus dijatuhi hukuman
sendiri-sendiri, dengan ketentuan apabila dijatuhi hukuman penjara maka tidak
boleh lebih dari delapan bulan.
10. Pasal
71 KUHP
1.
Kalau seseorang, sesudah dipidana
disalahkan pula berbuat kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan sebelum ia
dipidana itu, maka pidana yang dahulu itu turut dihitung, dengan menggunakan
ketentuan dalam bab ini dalam hal perkara-perkara itu, kecuali yang ditentukan
dalam ayat berikut.
2.
Kalau seseorang, sesudah dipidana
penjara seumur hidup, disalahkan pula berbuat kejahatan yang dilakukan sebelum
ia dipidana, dan yang diancam dengan pidana mati, maka dapat dijatuhkan pidana
mati[5].
Perbuatan yang dilakukan dalam bentuk gabungan tidak
senantiasa dapat diadili sekaligus dalam waktu yang sama. Dari pasal-pasal di
atas maka dapatlah diketahui bagaimana sistem pemberian hukuman bagi pelaku
tindak pidana gabungan.
B. TEORI GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana
adalah mengenai bagaimana sistem pemberian hukuman bagi seseorang yang telah
melakukan delik gabungan, sebagaimana dijelaskan dalam bab pertama bahwa dalam
KUHP terdapat empat teori yang dipergunakan untuk memberikan hukuman bagi
pelaku tindak pidana gabungan, yaitu:
1. Absorbsi Stelsel
Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan
ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan. Dalam hal ini seakan-akan pidana yang
ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah
terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk melakukan perbuatan pidana
yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada sistem hisapan ini ialah
pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan yang
dilanjutkan.
2. Absorbsi Stelsel yang Dipertajam (Absorpsi
Diperberat)
Dalam sistem ini ancaman hukumannya
adalah hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum
hukuman terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak
pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar
yang digunakan adalah pasal 65.
3. Cumulatie Stelsel
Adalah sistem cumulasi yang semua
ancaman hukuman dari gabungan tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada
pengurangan apa-apa dari penjatuhan hukuman tersebut. Sistem ini berlaku untuk
gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan
kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP.
4. Cumulatie yang Diperlunak
Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari
masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya[6].
Namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini
berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya
tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP.
Dari keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan
hanyalah tiga, yaitu sistem absorbsi, absorbsi yang dipertajam, dan cumulasi
yang diperlunak. Sementara itu cumulatie murni tidak pernah dipergunakan dalam
praktek, karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya
meringankan terdakwa.
Sebagaimana diketahui bahwa adanya gabungan perbuatan maka
menimbulkan adanya gabungan pemidanaan. Abdul al Qadir Audah dalam kitabnya
Al-Tasyri’ al Jinaiy al Islami menjelaskan bahwa menurutnya dalam hukum positif
terdapat tiga metode yang berkaitan dengan gabungan jarimah ini, yaitu:
- Metode Penggabungan (al-Jam’u).
Metode ini menghendaki diterapkannya atas pelaku kejahatan, hukuman bagi
tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, teori ini disebut juga dengan teori kumulasi atau teori
berganda.
- Metode Penyerapan (al-Jabbu) yaitu
memberikan hukuman yang paling berat di antara hukuman-hukuman yang lain yang harus diberikan. Metode ini
menghendaki agar pelaku kejahatan
tidak menerima hukuman kecuali hukuman yang paling berat atas beberapa jarimah yang dilakukannya. Teori ini
disebut juga teori Absorbsi.
- Metode Pencampuran (al-Mukhtalath)
yaitu adanya penggabungan beberapa jenis hukuman namun tidak melampaui
batas tertentu.[7]
Pembahasan mengenai sistem hukuman
tersebut di atas selanjutnya akan dibahas
dalam bentuk-bentuk gabungan melakukan tindak pidana menurut KUHP.
C.
BENTUK-BENTUK
GABUNGAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA
Gabungan hukuman terjadi ketika terdapat gabungan melakukan
tindak pidana. Gabungan melakukan tindak pidana hanya ada ketika seseorang
melakukan beberapa jarimah sebelum ada ketetapan hukum final terhadap satu atau
lebih perbuatan-perbuatan itu.
Menurut ilmu hukum, dalam hukum positif terdapat tiga bentuk
gabungan melakukan tindak pidana, yaitu:
1.
Gabungan satu perbuatan / concursus
idealis / Eendaadse Samenloop
2.
Perbuatan berlanjut / Voorgezette
Handeling
3.
Gabungan beberapa perbuatan / concursus
realis / Meerdaadse Samenloop
Adapun penjelasan dari ketiga bentuk gabungan tindak pidana
tersebut adalah sebagai berikut[8]:
I.
Gabungan satu
perbuatan atau concursus idealis atau eendaadse samenloop
Yaitu gabungan suatu perbuatan apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan dan dengan melakukan perbuatan itu ia melakukan pelanggaran
atas beberapa peraturan pidana.
Concursus
idealis ini diatur dalam pasal 63 ayat (1) KUHP, yaitu:
“Kalau
sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka
hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana
berlain, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya”.
Gabungan satu perbuatan (concursus idealis) menurut pasal 63
ini adalah melakukan suatu perbuatan yang di dalamnya termasuk beberapa
ketentuan pidana yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara yang satu tanpa
menghapuskan yang lain (conditio sine quanon).
Yang menjadi pokok persoalan dalam concursus idealis ini
adalah mengenai pengertian suatu perbuatan (feit). Pertanyaan apakah suatu
perbuatan itu dapat dikatakan sebagai gabungan perbuatan bersamaan, ternyata
sulit untuk menjawabnya. Ilmu pengetahuan dan pengalaman masih selalu mencari
batas yang dapat dipakai untuk semuanya, meskipun dari beberapa putusan
hakim sudah dapat dilihat adanya beberapa petunjuk, putusan masih juga sedikit
banyak berdasarkan pertimbangan kasuistis. Dalam perkembangannya pengertian
mengenai feit ini bermacam-macam. Pendapat lama mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan feit adalah perbuatan material.
Jonkers berpendapat sebagaimana dikutip oleh E. Utrecht
dalam bukunya Hukum Pidana mendefinisikan satu perbuatan itu merupakan
perbuatan yang dapat dihukum apabila suatu perbuatan yang dapat dihukum tidak
dapat masuk dalam beberapa peraturan hukuman, karena setiap perbuatan yang
dapat dihukum sudah memiliki peraturan hukum sendiri-sendiri. Hal ini berarti
perbuatan mempunyai arti materiil artinya bahwa suatu perbuatan pidana itu
harusnya benar-benar terjadi. Sementara itu pengarang-pengarang klasik seperti
Van Hamel, Simons dan Zevenbergen menafsirkan feit sebagai satu perbuatan fisik
(Lichamelijke Handeling). Vos membuat pula satu perumusan jelas tentang feit
sebagai satu perbuatan fisik, yaitu perbuatan materiil atau perbuatan fisik,
adalah perbuatan yang dilihat terlepas dari akibat yang ditentukan oleh
perbuatan itu, terlepas dari unsur-unsur subyektif (kesalahan) dan terlepas
pula dari semua unsur-unsur yang menyertai.
Sebagai contoh misalnya seseorang yang mengendari
sepeda motor pada malam hari dan juga dalam keadaan mabuk, dengan kendaraan
tanpa lampu dan tanpa SIM. Dalam kasus ini apabila diterapkan dalam pengertian
satu perbuatan secara materiil maka kasus tersebut hanyalah terdapat satu
perbuatan atau satu gerakan badan atau tindakan fisik semata, sehingga kasus
inipun merupakan gabungan satu perbuatan sebagaimana yang terdapat dalam
Arrest Hoge Road tanggal 26 Mei 1930. Namun demikian, hal ini tidak dapat
memberikan kepuasan hukum karena pada dasarnya hukum pidana tidak mempersoalkan
gerakan-gerakan badan. Berangkat dari kasus tersebut maka pada tanggal 15
Pebruari 1932 Hoge Road merubah pendiriannya yang mana hal itu bertentangan
dengan Hoge Road tanggal 26 Mei 1930. Menurut Hoge Road 15 Pebruari 1932 dalam
kasus tersebut di atas orang tersebut melakukan dua macam pelanggaran yang
masing-masing berdiri sendiri dan berlainan sifat.
II.
perbuatan tersebut
tidak dapat dianggap menghasilkan gabungan dari beberapa perbuatan dengan pertimbangan:
1.
Bahwa ciri dari perbuatan pertama harus
dicari di dalam situasi dimana seseorang berada, sedangkan yang kedua di dalam
keadaan kendaraan bermotornya. Bahwa kedua perbuatan tersebut harus dipandang
dari sudut hukum pidana, terlepas satu sama lain.
2.
Bahwa kebersamaan kejadian adalah bukan
sesuatu hal yang sesungguhnya harus timbul,
berhubung perbuatan yang pertama tidak menimbulkan yang kedua maka dari perbuatan
yang pertama tidak dapat dianggap sebagai dalam keadaan dimana perbuatan yang
lain berada.
Ada beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang
gabungan melakukan tindak pidana, adapun menurut Van Hattum sebagaimana yang
ditulis oleh:
1.
Wirdjono Prodjodikoro dalam bukunya memberikan
alasan dari perubahan urisprudensi Hoge Road 30 Mei 1930 dengan Hoge Road
tanggal 15 Pebruari 1932, adalah:
a.
Bahwa pada pactum perbuatan seorang mabuk,
hal yang menentukan ada dalam keadaan si pelaku, sedangkan pada pactum mengendarai
mobil tanpa 2 lampu, hal yang menentukan
ialah keadaan mobilnya, maka ini dianggap ada 2 perbuatan.
b.
Bahwa kedua perbuatan ini dalam gagasan
seseorang dapat dipandang lepas satu
dari yang lain.
c.
Bahwa tiap-tiap perbuatan ini masing-masing
merupakan suatu tindak pidana yang berdiri sendiri dan yang bersifat berlainan
satu dari yang lain.
d.
Bahwa tiap-tiap perbuatan itu yang satu
tidak diliputi oleh yang lain.
e.
Bahwa dari kedua perbuatan itu yang
satu tidak diliputi oleh yang lain
f.
Bahwa satu dari kedua perbuatan itu
tidak dapat dianggap suatu keadaan yang di dalamnya perbuatan yang lain
dilakukan.
g.
Bahwa kedua perbuatan itu dapat nampak
dan dikonstatir terlepas satu dari yang lain
dan mungkin pada waktu-waktu yang berlainan.
Pada tanggal 6 Juni 1932 muncul lagi keputusan Hoge Road
dalam kasus yang berbeda yaitu menangkap ikan dengan alat penangkap ikan yang
dilarang, kecuali dengan surat ijin, dan dilakukan di perairan. Dengan tidak
ada ijin dari yang punya, biarpun merupakan suatu perbuatan adalah dua
perbuatan yang sifatnya berlainan yang senyatanya terpisah satu sama lain.
Keputusan inipun ternyata belum juga dapat memenuhi rasa keadilan dari perasaan
hukum sehingga muncul Arrest Hoge Road yang lain seperti pada tanggal 24
Oktober 1932.
Yurisprudensi Hoge Road tahun 1932 tersebut kemudian disusul
oleh arrest-arrest yang lain; pada tanggal 1 Mei 1934 muncul kembali Arrest
Hoge Road yang ini diharapkan dapat memberikan solusi dari makna satu perbuatan
ini yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan satu perbuatan dalam pasal 63
ialah sebagai sebutan untuk segala tindakan yang dapat dihimpun di dalam satu
ketentuan pidana.
2.
POMPE: Hukum tidak mengenal gerakan
otot atau gerakan-gerakan badan tetapi berbagai tujuan atau satu tujuan yang
harus dicapai oleh sesuatu tindakan, tujuan yang khas dari tindakan itu adalah
menentukan jawaban atas pertanyaan: “Apakah terdapat gabungan satu perbuatan
atau gabungan dari beberapa perbuatan?” Satu perbuatan yang dimaksud dalam
pasal 63 harus dipandang dari sudut hukum pidana.
3.
VOS: Hanya terdapat gabungan satu
perbuatan, apabila hanya terjadi satu peristiwa yang nyata dan tegas atau
apabila terdapat beberapa akibat yang nyata atau perbuatan yang satu merupakan
conditio sine quanon dari perbuatan lain.
4.
Taverne: gabungan beberapa perbuatan
terjadi apabila tindakan yang berbeda dari sudut hukum pidana inconcreto dapat
dianggap satu sama lain terlepas.
5.
V. Bemmelen: Gabungan satu perbuatan
atas beberapa perbuatan pidana adalah tergantung pada terlanggarnya satu atau
beberapa kepentingan hukum atau apakah terdakwa dengan melakukan perbuatan yang
satu dengan sendirinya melakukan perbuatan yang lain.
Dari berbagai pendapat serta arrest-arrest Hoge Road
tersebut di atas ternyata belum memberikan dasar yang tegas, namun demikian
adanya pemaknaan satu perbuatan ke dalam pengertian materiil yaitu gerakan
badan sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar bagi gabungan pidana ini.
III. Perbuatan berlanjut (Voorgezette
Handeling)[9]
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan
tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan
sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus
dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan
pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa
yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai
perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa
perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing
delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan
Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette
handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk
gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP
menyimpang dari ketentuan pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 dan 66 KUHP
yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya.
Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang
diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai
pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
Ø Tindakan-tindakan
yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
Ø Delik-delik
yang terjadi itu sejenis; dan
Ø Tenggang
waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari
satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/ culpa
dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan
delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari sau kehendak jahat
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Seseorang melakukan beberapa tindak
pidana dan di antara beberapa tindak pidana tersebut belum mempunyai putusan
hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap (in kractht) disebut Concursus.
Dimana dalam gabungan tindak pidana tersebut terdapat tiga ajaran tentang
Concursus atau gabungan tindak pidana yaitu Concursus idealis, realis dan
perbuatan berlanjut.
Concursus idealis terjadi apabila
seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan tersebut
melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Sedangkan concursus realis terjadi
apabila seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan. Adapun bentuk
dari concursus yang ketiga yaitu pernyataan lanjut terjadi apabila seseorang
melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan diantara perbuatan-perbuatan
itu terdapat hubungan yang sedemikian eratnya sehingga rangakaian perbuatan itu
harus di anggap sebagai perbuatan lanjutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adami
Chazawi. 2007. Pelajaran Hukum Pidana
Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Ahmad Hakim.2002. Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia
Kanter,
Sianturi.2002. Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika
Lamintang.
1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru
Loqman,
Loebby, Percobaan. 1996. Penyertaan dan
Gabungan Tindak Pidana, Jakarta: Universitas Tarumanegara
Mukhlis, Tarmizi, Ainal Hadi. 2009. Hukum
Pidana, Banda Aceh: Syiah Kuala University Press
Soesilo,
R.1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
demi Pasal. Bogor: Politeia
Teguh Prasetyo. 2011. Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada
[2] Loqman, Loebby, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta: Universitas
Tarumanegara, 1996), hl. 215.
[3] Soesilo, R.1993. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasa demi Pasal. Bogor: Politeia
[5]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) hl.187.
[6] Kanter, Sianturi, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Penerbit Storia Grafika,
2002), 67.
[7]
Ahmad Hakim, Hukum Pidana Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hl. 30
[8]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana
Bagian 2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hl. 82
[9]
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hl 93.
0 komentar:
Posting Komentar