Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia & Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Perceraian Beda Agama


A.    Larangan Perkawinan Beda Agama
Pembahasan dalam bagian ini mencoba menelaah peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 (GHR), Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pada azasnya, Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan antara kedua calon mempelai yang berbeda agama atau kenyakinan. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ketegasan pelarangan perkawinan beda agama ditegaskan pula dalam Pasal 8 huruf (f) UU No. 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk agama Islam ditegaskan dalam Pasal 44 KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan penegasan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam; sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal 40 Huruf (c) KHI dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Larangan ini karena perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci yang melibatkan nama Allah dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana maksud Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan lembaga yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Secara hukum perundang-undangan, baik UU No 1 Tahun 1974 maupun KHI hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan perkawinan.
Disisi lain Mahkamah Agung dalam Yurisprudensinya pada tanggal 20 januari 1989 : No 1400 K/Pdt/ 1986 menyatakan bahwa “bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di kantor catatan sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami istri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama” dan memerintahkan kepada pegawai pencatatan pada kantor catatan sipil DKI Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Voni Ghani ( Islam ) dengan Adrianus Petrus ( Kristen ). [1]
Meskipun perkawinan agama dilarang di Indonesia, namun ada saja cara menyiasatinya , diantaranya adalah :
1.      Salah satu pihak melakukan perpindahan agama secara permanen, ini merupakan jalan keluar yang disarankan,
2.      Salah satu pihak melakukan perpindahan Agama (yang beararti penyelundupan hukum ), namun setelah perkawianan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing.
3.      Mencari lembaga alternatif untuk menikahkan, atau melaksanakan pernikahan di luar negeri, kemudian melaporkan pernikahan tersebut ke catatan sipil / KUA dengan menuliskan kolom ”Agama” dalam akta nikah sesuai dengan agamanya pasangannya ( yang berarti penyelundupan hukum ) , cara ini sangat tidak disarankan.[2]

B.     Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendirian sejumlah ulama Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukan Islam. Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1 Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut. Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agama si suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinan tendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melalui pernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karena banyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanya masing-masing.
Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda agama itu mendapatkan sokongan dari negara. Melalui Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berisi hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, pemerintah melarang umat Islam menikah dengan orang yang bukan Islam. Dalam pasal 44 KHI dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam pasal 40 disebutkan, “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dengan dua ayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki maupun perempuan, dilarang melangsungkan pernikahan dengan orang yang tak beragama Islam.
KHI memang bukan Undang-Undang (UU), melainkan hanya sebuah Inpres. Tapi, faktanya, KHI lah yang menjadi rujukan para pegawai KUA dalam menikahkan para laki-laki dan perempuan Islam di Indonesia. KHI juga dipakai para hakim agama dalam mengatasi persoalan-persoalan perceraian di Indonesia. Dengan kenyataan ini, para pelaku nikah beda agama tak mendapatkan payung hukum yang menjamin dan melindungi pernikahan mereka. Ini karena negara melalui KHI telah ikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga negara yang mau menikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan merampas hak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami atau istri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukan menentukan pasangan dalam pernikahan.[3]

C.    Kewenangan Peradilan Agama Terhadap Perceraian beda Agama
Di Indonesia tidak ada hukum dan agama yang memperbolehkan perkawinan beda agama. Adapun cara pemutusan perkara perceraian beda agama dilakukan di mana ia mencatatkan perkawinan itu, kalau ia menikah secara Islam maka diajukan ke Pengadilan Agama, kalau ia menikah secara kristen maka ia harus mengajukan perceraian ke pengadilan negri.
Pengadilan Agama dapat memutuskan perkara jika perkara perceraian beda agama tersebut tercatat perkawinannya tercatat di KUA. Pengadilan Agama tidak berwenang untuk memutuskan perceraian jika perkawinan tersebut tidak tercatat di Kua.





[1]file:///C:/Users/Putra/Downloads/hukum-perceraian-untuk-nikah-beda-agama.htm
[2]http/perceraian-dalam-perkawinan-beda-agama.html
[3]http://islamlib.com/id/artikel/hukum-nikah-beda-agamab 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Total Tayangan Halaman

About this blog

Hidup Akan Terasa Lebih Indah Bila Dihiasi Dengan Senyuman ...
:)

(Putra El-Hilal)

About Me

SMS Gratis Di Sini

kirim

Tab

Konten tab 1 ( srcipt/kode anda )
Konten tab 2 ( script/kode anda )
KOnten tab 3 (script/kode anda)

Followers

Contributors

Search This Blog