BAB I
PENDAHULUAN
Masalah
perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan
pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama
masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh
karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.
Hak konsumen
yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era
globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam
produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik
melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung.
Jika tidak
berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya
akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.
Perkembangan
perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat
telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam
variasi produk barang dan jasa yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi
dan perdagangan besar didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang
memberikan ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan,
sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi. Hal ini tidak menutup kemungkinan
terjadinya sengketa antara konsumen dan produsen. Maka makalah kami yang
Berjudul PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN” akan membahas tentang sengketa
konsumen dan tata cara penyelesaiannya dan diharapkan dapat menambah informasi
dan pengetahuan yang lebih sesuai dengan judul yang bersangkutan.
BAB II
PEMBAHASAN
Aktivitas manusia tak terlepas dari yang namanya aktivitas ekonomi,
mulai dari ibu rumah tangga, pegawai maupun pengusaha tak terlepas dari yang
namanya aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi dirasakan hidup bila tercipta
suasana yang mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen
ke konsumen.
Masalah
perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan
pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama
masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh
karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.
Hak konsumen
yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Hak ternyata tidak hanya mengandung
unsur perlindungan dan kepentingan melainkan juga kehendak.[1]
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas
saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang
dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun
penawaran barang secara langsung.
Globalisasi ekonomi berupa perdagangan bebas belum banyak
memperbaiki ekonomi Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas menguntungkan
konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang, barangkali masih merupakan mitos
belaka. Penipuan-penipuan sering ditemukan dalam beberapa produk barang maupun
jasa, seperti produk yang tak sesuai dengan yang diiklankan dan lain
sebagainya.
Sengketa konsumen disini dibatasi hanya pada bagian sengketa
Perdata. Masuknya suatu sengketa/perkara ke depan pengadilan bukanlah karena
kegiatan sang hakim, melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa
dalam hal ini penggugat baik itu produsen ataupun konsumen. Pengadilan yang
memberikan pemecahan atas hukum perdata
yang tidak dapat bekerja diantara para pihak secara sukarela. Dalam
hubungan ini Satjipto Rahardjo mengatakan :
Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan denga proses
peradilan secara konvensional melibatkan pembicaraan tentang kekuasaan
kehakiman, prosedur berperkara dan
sebagainya.[2]
[1]
Sajipto Rahrdjo. Ilmu Hukum,
(Bandung:PT Citra Aditya Rahardjo.2006)hal.53
[2]Dikutip
dari Celina Tri Siwi Kristiyanti (2009)
dalam bukunya “Hukum Pelindungan Konsumen”
(jakarta,Sinar Grafika)hal.175
B.
Pengertian dan Ruang Lingkup Sengketa Konsumen
Sengketa tidak lepas dari suatu konflik. Dimana ada sengketa pasti
disitu ada konflik. Begitu banya konflik dalam kehidupan sehari-hari. Entah
konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat. Hal ini dialami oleh
semua kalangan. Karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan.
Sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pertentangan
atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara
orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek
permasalahan. Sedangkan menurut Ali Achmad sengketa adalah pertentangan antara
dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu
kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.[1]
Sedangkan pengertian Konsumen Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU
PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain.dan.tidak.untuk.diperdagangkan.”
Pengertian Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya
Prinsiples Of Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli
atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.[2][3]
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen.
Definisi ”sengketa konsumen” dijumpai pada Peraturan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan yaitu Surat Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10
Desember 2001, dimana yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah:
“sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi
barang atau memanfaatkan jasa.”
[1]
Dikutip dari Blog Fikaamalia's dalam
tulisannya “Pengertian Sengketa”
[2]
Dikutip dari http://aditnobaka.wordpress.com
Sengketa dapat
juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi–pribadi atau
kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak
terganggu atau dilanggar.
Pihak-Pihak Yang Bersengketa :
Dalam sengketa
konsumen maka pihak-pihak yang bersengketa adalah konsumen disatu pihak dan
Developer (Pelaku usaha) di pihak lain. Dimana konsumen sebagai
pengguna/pemakain barang/jasa dan Developer (pelaku usaha) sebagai penyedia
barang atau jasa.
C.
Penyelesaian Sengketa
Konsumen
Sengketa
konsumen dimaksudkan bukan sebagai sengketa dalam arti luas yakni sengketa yang
melingkupi hukum pidana dan hukum administrasi negara karena UUPK mengatur penyelesaian sengketa
bersifat ganda dan alternatif .
pengertian bersifat ganda disini ialah penyelesaian sengketa dengan berbagai
sistem, yakni :
·
Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan ( in court resolution ) (Pasal 45 dan 48 )
·
Penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan ( out court resolution atau disebut juga alternative dispute resolution ) ( Pasal 45, 46, 47 ) ;
·
Penyelesaian perkara secara pidana ( criminal court resolution ) (Pasal 59, 61, s/d 63)
·
Penyelesaian perkara secara administratif ( administratif court
resolution ) (Pasal 60 ).[1]
[1]N.H.T.Siahaan.
Hukum Konsumen. (Bogor. Panta Rei.
2005)hal.204
1.
Penyelesaian Sengketa Melalui Peradlian
Penyelesaian
sengketa konsumen melalui peradilan diatur dalami Pasal 45 dan pasal 48 yang
berbunyi :
Pasal 45 :
1) setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.
2) Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
3) Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
mennghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
4) Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.[1]
Penjelasan :
Ayat.(2) :
“Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutupi kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
“Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutupi kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Yang dimaksud
dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua
belah pihak yang bersengketa ( pelaku usaha dan konsumen ) tanpa melalui pengadilan
atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan
undang-undang ini.”[2]
Melalui pasal 45 ayat (1) ini dapat
diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen , terdapat dua pilihan
yaitu :
·
Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha, atau
·
Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Bunyi Pasal 48
:
“Penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45 di atas.”
Penunjukan pasal 45 dalam hal ini,
lebih banyak tertuju pada ketentuan tersebut dalam ayat (4). Artinya
penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila :
·
Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen
diluar pengadilan, atau
·
Upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Satu
hal yang harus diingat, bahwa cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan
menggunakan hukum acara yang umum berlaku selama ini, yaitu HIR/RBg.
Disamping
itu, secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa
melalui pengadilan, yaitu karena :
1) Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan sangat lambat .
Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan yang pada umumnnya atau disebut buang waktu lama
diakibatkan oleh proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan snagat teknis.
Disamping banyaknya perkara yang harus ditangani oleh pengadilan mengakibatkan
pengadilan dibebani dengan beban terlampau banyak.
2) Biaya
Perkara yang Mahal.
Biaya
perkara dalam proses penyelesaian sengketa sangat mahal, terlebih-lebih jika
dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa.
3) Pengadialan
pada umumnya tidak responsif.
Dalam
hal menangani penyelesaian sengketa pengadilan pada umumnya bersikap tidak
responsif, hal ini dapat dilihat dari kurang tannggapnya pengadilan dalam
membela dan melindungi kepentingan umum. Pengadilan juga sering dianggap tidak
berlaku adil, karena hanya berpihak kepada “lembaga besar” atau “orang kaya” saja.
4) Putusan
pengadilan tidak menyelesaikan masalah.
Putusan
pengadilan dianggap tidak menyelesaikan masalah, bahkan dianggap semakin
memperumit masalah karena secara objektif putusan pengadilan tidak mampu
memuaskan, serta tidak mampu memberikan kedamaian dan ketentraman kepada para
pihak.
5) Kemampuan
para hakim yang bersifat generalis.
Para hakim
dianggap mempunyai kemampuan terbatas, terutama dalam abad iptek dan
globalisasi sekarang, karena pengetahuan yang dimiliki hanya di bidang hukum,
sedangkan di luar pengetahuannya bersifat umum, bahkan awam. Dengan demikian,
sangat mustahil mampu menyelesaiakan sengketa yang mengandung kompleksitas
berbagai bidang.
Walaupun terdapat kesulitan dalam
merancang suatu sistem peradilan yang cepat dan tidak mengorbankan keadilan,
namun usaha-usaha ke arah situ harus tetap dilakukan. Sebagai contoh, di
Inggris, suatu panitia yang diketuai oleh Lord Hailsham mengajukan usul
perbaikan sistem manajemen ke dalam sistem peradilan. Pokok-pokok pikiran yang
ada dalam usul tersebut, antara lain :
1. Once court entry system atau unified court system atau
one court system, yaitu suatu sistem
yang mengintgrasikan Country court
dengan High Court.
2. Full pre-trial disclosure, yaitu pada saat pengajuan
gugatan, harus sekaligus disertai dengan alat bukti’
3. Time tabble yang
terprogam, yaitu jadwal sidang harus ditentukan sejak awal.
4. Extra hour’s sitting oer day, yaitu penambahan sidang
setiap hari.
5. In court arbitration system, yaitu penggabungan arbitrase dengan pengadilan.
a)
Penyelesaian Sengketa Di
Luar Peradilan
Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan disebytkan dalam pasal 45 ayat (2,3,4). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepaatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi dan/ atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.[3]
Bentuk jaminan
yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangka bahwa
tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Di indonesia ADR mempunyai daya
tarik khusus karena keserasiannya dengan dengan sistem sosial budaya
traditional berdasarkan musyawarah mufakat. Beberapa hal dibawah ini merupakan
keuntungan yang sering muncul dalam ADR, yaitu :
(1) Sifat
kesukarelaan dalam proses
(2) Prosedur
yang cepat :
-
Keputusan non yudisial
-
Kontrol tentang kebutuhan organisasi
-
Prosedur rahasia (confedinteal)
-
Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah
-
Hemat waktu
-
Hemat biaya
-
Pemeliharaan hubungan
-
Tunggunya kemungkinan untuk melaksanakannkesepakatan
-
Kontrol dan lebih muda memperlihatkan hasil
-
Keputusan bertahan sepanjang waktu.[4]
Selanjutnya
mengnenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa telah diatur dalam
undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
(a) Arbitrase
Pengertian
arbitrase berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi :
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. “
Arbitrase merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang di dasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999).
Arbitrase diangggap memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan dengan cara litigasi, oleh karena itu dalam praktek para pelaku
bisnis dan dunia usaha ada kecenderungan untuk memilih penyelesaian sengketa
melalui arbitrase.
Adapun beberapa
keunggulannya antara lain :
-
dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak
-
dapat dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal procedural dan administrative
-
para pihak dapat memilih arbiter
yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar
belakang yang cukup mengenai maalah yang disengketakan, jujur dan adil.
-
para pihak dapat menentukan pilihan
hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase dan
-
putusan arbitrase merupakan putusan
yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang
disebutkan di atas, tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu
proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Di antara
kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiaannya, karena
keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian, penyelesaian sengketa
melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk
kontrak bisnis atau dagang yang bersifat internasional. Sifat rahasia arbitrase
dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang
merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum. [5]
(b) Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Alternatif
penyelesaian sengketa (APS), disebut juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam arti luas adala proses
penyelesaian suatu sengketa di bidang perdata di luar pengadilan melalui
cara-cara arbitrase, negosiasi, mediasi, konsilasi yang disepakati pihak-pihak.
[6]
Adapun Alternatif Penyelesaian sengketa menurut
pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi :
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsilasi atau penilaian ahli.
Menurut
Altschul, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) ialah :
Suatu
pemeriksaan sengketa oleh majlis swasta yang disepakati oleh para pihak dengan
tujuan mengehmat biaya perkara, meniadakan publisitas dan meniadakan
pemeriksaan yang bertele-tele ( a trial
of a case before aprivate tribunal agreed to by the parties so as to save legal
cost, avoid publicity, and avoid lengthy trial delays).
Adapun
Philp D. Bostwick mengatakan bahwa ADR adalah sebuah perangkat pengalaman dan
teknik hukum yang bertujuan :
·
Menyelesaiakan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan
para pihak.
·
Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang
bia terjadi.
·
Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke
pengadilan.
Kemudian
berdasarkan isi pasal 1 ayat (10) undang-undang nomor 30 tahun 1999 maka
alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara berikut.
1. Konsultasi
Pada prisnsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat
“personal” antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak
lain yang merupakan pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klie
tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut
tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapatnya atau tidak.
2. Negosiasi
Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk
memperoleh kesepakatan di antara mereka. Negosiasi menurut Roger Fisher dan
William Ury adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama
maupun berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami
sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga
penengah yang tidak berwenang menngambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga
pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi). Negosiasi biasanya dipergunakan
dalam sengketa yang tidak terlalu peik, dimana para pihak masih beriktikad baik
untuk duduk bersama dan memecahkan masalah. Negosiasi dilakukan apabila
komunikasi antarpihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada
rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan
meneruskan hubungan baik.
3. Mediasi
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar
yang tidak memihak ( impartial )
bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu meperoleh kesepaatan
perjanjian dengan memuaskan, berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak
mempunyai wewenang untuk memutuskan snegketa. Mediator hanya membantu para
pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.
4. Konsiliasi
Konsiliasi adalah merupakan suatu proses untuk mencapai perdamaian
di luar pengadilan. Dalam konsiliasi pihak ketiga mengupayakan pertemuan
diantara pihak yang berselisish untuk mengupayakan perdamaian. Pihak ketiga
selaku konsilator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dangan para pihak
yang berselisih, konsiliator biasanya tidak terlibat secara mendalam atas
substansi dari perselisihan. Ketentuan tentang konsiliasi dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 1 ayat (10) dan alinea ke-9 penjelasan umum undang-undang nomor
30 tahun 1999.
5. Penilaian
Ahli
Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh
lembaga arbitrase. Dalam pasal 1 angka 8 undang-undang nomor 30 tahun 1999
berbunyi :
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberika putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan
hukum tertentu dalam hal ini belum tentu
sengketa.
D .
class action pada sengketa konsumen
Dalam sengketa
konsumen, pada umumnya korban bersifat massal ( massaccident ). Secara teknis konsumen yang dirugikan mengalami
kesulitan apabila mengajukan gugatan, karena harus membuat surat kuasa khusus
kepada pengacara, sementara kasusnya adalah sama. Dengan gugatan class action terhadap kasus yang sama,
cukup diwakili oleh beberapa korban yang menuntut secara perdata ke pengadilan.
Secara bebas dapat diartikan suatu class action adlah suatu cara yang
diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu
masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai
perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok.
Kritera untuk
menetukan suatu perkara dapat tidaknya menjadi class action:
-
Orang yang terlibat sangat banyak, dengan kelompok yang jelas
-
Adanya kesamaan tuntutan dari suatu fakta dan hukum yang sama dan
sejenis
-
Tidak memerlukan kehadiran setiap orang yang dirugikan
-
Upaya class action lebih
baik daripada gugatan individual
-
Perwakilan harus jujur, layak dan dapat melindungi kepentingan
orang yang diwakili
-
Disahkan oelh pengadilan.
Di dalam pasal
46 dinyartakan bahwa undang-undang mengakui class
action harus diajukan oleh konsumen
yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum.
Prinsip class action berbeda dengan legal standing. Umumnya class action wajib memenuhi empat syarat
sebagaimana juga ditetapkan dalam pasal 23 US
Federal of Civil Procedure melipuri :
-
Numerosity (jumlah orang yang mengajukan harus sedimikian
banyaknya).
Persyaratan
ini mengharuskan kelas yang diwakili (class
members) sedemikian besarnya jumlahnya karena apabila gugatan diajukan satu
demi satu (individual) sangat.tidak.praktis.dan.tidak.efisien.
-
Commonality (kesamaan) artinya harus ada
kesamaan fakta maupun question of law antara pihak yang mewakili dan
pihak yang diwakili.
-
Typicality , artinya tuntutan (bagi penggugat)
maupun pembelaan (bagi tergugat ) pada class
action haruslah sejenis.
-
Adequacy of
Representation (kelayakan
perwakilan), artinya mewajibkan perwakilan kelas ( class representative ) untuk
menjaimin secara jujur dan adli serta mampu melindungi kepentingan pihak yang
diwakili.
eE. LEGAL STANDING UNTUK LPKSM
Selain
gugatan kelompok (class action ) UUPK
juga menerima kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh suatu lembaga
tertentu yang nemiliki legal standing.
Selain
dalam UUPK , NGO’s legal standing, ternyata
juga diterima dalam undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hdup.
Pasal
39 Undang-Undang selanjutnya menyatakan, tata cara pengajuan gugatan dalam
masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan atau organisasi lingkungan
hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
-
Sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang
menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.
-
Melalui pasal 45 ayat (1) ini dapat diketahui bahwa untuk
menyelesaikan sengketa konsumen , terdapat dua pilihan yaitu :
·
Melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, atau
·
Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
-
alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara
berikut :
·
Konsultasi
·
Negosiasi
·
Mediasi
·
Konsialisasi
·
Penilaian ahli
[1]
Undang-Undang Pelindungan Konsumen hal.22-23
[2]Ahamadi
Miru & Sutarwan Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen.
(Jakarta.Pt Raja Graafindo Persada.2004)
hal.224
[3]C.S.T.
Kansil.S.H, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum
Dagang Indonesia, (Jakarta,Sinar Grafika,2010)hal.235
[4]Celina
Tri SiwiKristiyanti, Hukum Perlindungan
Konsumen.(jakarta: Sinar Grafika.2009) hal. 184
[6]N,H.T
Siahaan hal.208
0 komentar:
Posting Komentar